
Kenaikan harga Pertamax per 1 Juli 2025.
GEMINI99NEWS – Jakarta – Awal bulan Juli 2025 dibuka dengan kabar kurang menyenangkan bagi masyarakat pengguna kendaraan bermotor. PT Pertamina (Persero) secara resmi mengumumkan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) non-subsidi jenis Pertamax. Penyesuaian harga ini mulai berlaku per 1 Juli 2025, sebagaimana tercantum di situs resmi MyPertamina.
Menurut informasi yang beredar, harga Pertamax kini dibanderol Rp13.950 per liter dari sebelumnya Rp13.300. Sementara itu, harga Pertalite—yang masih disubsidi pemerintah—dinyatakan tetap stabil di angka Rp10.000 per liter.
Kenaikan ini sontak menimbulkan keresahan di kalangan pengguna kendaraan pribadi maupun ojek daring. Tak sedikit warga yang mengeluh karena kebijakan ini datang saat daya beli masyarakat belum sepenuhnya pulih pascapandemi dan inflasi yang masih terasa di berbagai sektor.
Dampak Langsung ke Konsumen
Arifin (35), seorang pengemudi ojek daring di Jakarta Timur, mengaku terpaksa mengurangi aktivitas harian karena kenaikan biaya operasional. Ia mengatakan bahwa selisih harga yang terkesan kecil akan sangat terasa jika dikalikan dengan jarak tempuh setiap harinya.
“Sehari bisa habis 5 sampai 6 liter, kalau naik seribu rupiah lebih ya kerasa banget. Sekarang harus pintar-pintar atur rute,” ungkapnya saat ditemui di sekitar Stasiun Jatinegara.
Keresahan juga datang dari kalangan mahasiswa dan pekerja kantoran yang mengandalkan kendaraan pribadi untuk mobilitas. Mereka menilai, meski Pertalite masih tersedia dengan harga yang lebih murah, performa kendaraan yang memakai Pertamax dianggap lebih optimal dan ramah lingkungan.
Alasan Kenaikan Menurut Pertamina
Dalam pernyataan resminya, Pertamina menyebut bahwa kenaikan harga Pertamax dilakukan sebagai bagian dari penyesuaian harga pasar global dan tren harga minyak mentah dunia. Perusahaan pelat merah ini menegaskan bahwa kebijakan harga BBM non-subsidi disesuaikan secara berkala sesuai mekanisme keekonomian dan kurs mata uang.
“Penyesuaian harga BBM non-subsidi adalah bentuk transparansi dan komitmen kami terhadap ketahanan energi nasional,” tulis pihak Pertamina dalam unggahan MyPertamina, Senin (1/7).
Namun begitu, banyak pengamat menilai bahwa pemerintah sebaiknya memberikan penjelasan lebih luas kepada publik, terutama mengenai strategi pengendalian harga energi dan dampaknya terhadap masyarakat menengah ke bawah.
Tekanan Ekonomi dan Risiko Domino
Di tengah tekanan ekonomi yang belum sepenuhnya mereda, lonjakan harga BBM non-subsidi dikhawatirkan memicu efek domino pada sektor lain, seperti logistik, transportasi umum, hingga harga bahan pokok. Ekonom dari Institute for Public Policy, Yulia Hardianti, menilai langkah ini perlu diimbangi dengan mitigasi dampak sosial secara nyata.
“Ini bukan hanya soal kendaraan pribadi. Kenaikan harga BBM bisa merembet ke inflasi barang dan jasa. Pemerintah harus sigap memberi bantalan sosial agar tidak menimbulkan kegelisahan luas,” ujarnya.
Hingga berita ini ditulis, belum ada penjelasan apakah akan ada subsidi tambahan untuk pengguna tertentu atau insentif khusus untuk sektor terdampak langsung. Namun, masyarakat tetap berharap agar pemerintah dan Pertamina bersikap transparan dan berpihak pada kepentingan rakyat.
Penutup: Kebutuhan vs Kenyataan
Kenaikan harga Pertamax menjadi ironi tersendiri di tengah wacana percepatan transisi energi dan peningkatan kualitas hidup. Di satu sisi, masyarakat dituntut untuk menggunakan bahan bakar berkualitas tinggi, namun di sisi lain, harga yang terus naik mempersulit akses terhadap pilihan tersebut.
Kebijakan ini tentu akan menjadi bahan diskusi hangat dalam beberapa hari ke depan. Apakah pemerintah akan tetap mempertahankan harga saat ini atau melakukan evaluasi? Masyarakat hanya bisa menanti dengan harapan bahwa suara mereka tak diabaikan.